Sistem pendidikan di Indonesia mengalami berbagai
kendala atau masalah dalam pelaksanaannya yaitu mulai dari kenakalan remaja
sampai peluang memperoleh pendidikan terutama untuk penyandang disabilitas. Dengan
permasalahan yang begitu kompleks, sistem pendidikan di Indonesia perlu
mendapatkan perhatian yang sangat serius. Dalam artikel ini akan dipaparkan
salah satu permasalahan pendidikan yaitu tentang fenomena pendidikan inklusi terutama
di daerah Magelang, Jawa Tengah.
Untuk memperkuat argumen tentang pelaksanaan pendidikan
inklusi yang menjadi bagian penting dalam menunjang kesempatan dan peluang bagi
anak berkebutuhan khusus, berikut ini akan dipaparkan beberapa landasan
yuridisnya. Landasan yuridis internasional tentang penerapan pendidikan inklusi
adalah Deklarasi Salamanca (UNESCO, 1994) oleh para menteri pendidikan sedunia.
Deklarasi ini merupakan penegasan kembali atas Deklarasi PBB tentang HAM tahun
1948 dan berbagai deklarasi lanjutan yang berujung pada Peraturan Standar PBB
tahun 1993 tentang kesempatan yang sama bagi individu berkelainan memperoleh
pendidikan sebagai bagian integral dari sistem pendidikan yang ada.
Selain itu, sebagai usaha mengatasi permasalahan
terkait penyediaan pendidikan bagi peserta didik penyandang disabilitas,
Pemerintah Indonesia mengeluarkan
Undang-undang Nomor 20 tahun 2003. Dalam penjelasannya, pasal 15 dan pasal 32
menyebutkan bahwa pendidikan khusus merupakan pendidikan untuk peserta didik
yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang
diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus pada
tingkat pendidikan dasar dan menengah.
Aturan terbaru yang mengatur tentang pendidikan
inklusi adalah dikeluarkannya Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas)
nomor 70 Tahun 2009 yang menyebutkan bahwa pendidikan inklusi sebagai sistem
penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta
didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat
istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam lingkungan
pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya.
Dengan melihat landasan yuridis tersebut terutama
dengan jaminan Undang-Undang yang telah dipaparkan di atas dan menelaah dari bentuk
penyelenggaraan pendidikan inklusi yang bertujuan untuk memberikan kesempatan
seluas-luasnya dan mewujudkan penyelenggaraan pendidikan yang menghargai
keanekaragaman dan tidak diskriminatif, pelaksanaan pendidikan inklusif bagi
anak berkebutuhan khusus harusnya akan semakin berkembang dan terlaksana.
Anak-anak penyandang autis yang menempuh pendidikan
khususnya di daerah Magelang difasilitasi dengan sekolah khusus autisme yang
bernama Bina Anggita. Sekolah khusus autisme Bina Anggita
merupakan satu-satunya sekolah yang khusus menampung anak-anak autis. Pendirian
Sekolah Khusus Autisme Bina Anggita berawal dari keprihatinannya terhadap
anak-anak penyandang autis di Magelang dan sekitarnya yang tidak memiliki
tempat khusus untuk pendidikan anak autis. Pemikiran untuk mendirikan sekolah
ini didasarkan pada keadaan bahwa anak autis memang tidak cocok masuk SLB
karena kecerdasan normal di atas rata-rata. Sedangkan di sekolah reguler mereka
juga ditolak karena tidak bisa menerima intruksi dan perilaku yang cenderung
seenaknya.
Pihak Dinas Pendidikan setempat bersedia
meminjamkan tempat meski sangat sederhana dan memberikan izin operasional. Akan
tetapi, sekolah tersebut akan diminta oleh Pemerintah Kota Magelang melalui
Dinas Pendidikan dan Kebudayaan untuk dijadikan sekolah Pendidikan Anak Usai
Dini (PAUD). Sekolah ini memang
berstatus pinjam dari Dinas Pendidikan Kota Magelang.
Dari pemaparan kasus di atas, dapat ditarik kesimpulan
bahwa jumlah lembaga pendidikan yang menyediakan ruang untuk pendidikan inklusi
belumlah memadai dibandingkan dengan jumlah anak berkebutuhan khusus. Dinas
yang memperketat izin pembukaan sekolah inklusi dengan dalih untuk menjaga
kualitas pelayanan kepada anak berkebutuhan khusus juga menjadi faktor
penghambat pendirian sekolah inklusi. Memang pelayanan pendidikan inklusi tidak
boleh sembarangan dan para pendidiknya harus sudah mempelajari pendidikan luar
biasa, namun hal tersebut bisa diatasi dengan memberi pengarahan atau
sosialisasi pada guru atau staf pengajar dalam hal yang terkait dengan metode
pengajaran.
Sekolah reguler yang menolak siswa ABK
dengan alasan dari sisi sarana dan prasarana juga dapat diatasi dengan berbagai
strategi. Sebagai contoh, di salah satu sekolah SMA reguler yang menerima siswa
ABK, ruang kelas siswa tersebut dipindahkan di lantai satu sehingga siswa ABK
tidak kesulitan untuk mengakses ruang belajarnya. Terkadang, teman-temannya
juga membantu anak ABK tersebut untuk mengakses lantai dua ketika ada mata
pelajaran yang mengharuskan masuk ke laboratorium yang terletak di lantai dua. Sekolah reguler yang menerima siswa ABK harus
memperbaiki semua prasarana sekolah agar bisa diakses oleh siswa ABK. Misalnya
adanya bangunan yang berfungsi sebagai pegangan atau alat untuk turun saat
berjalan dan kamar mandi khusus untuk mereka. Permasalahan-permasalah teknis lain terkait
dengan penyelenggaraan pendidikan inklusi masih perlu banyak mendapat perhatian
dari pemangku kebijakan.