Anak-anak di zaman milenial ini mungkin
akan sibuk dengan gadget, mereka sibuk bermain game atau sekedar memantau
sosial medianya dan menjadi makhluk hidup yang anti-sosial. Namun, bukti di
lapangan tak seperti itu. Banyak anak remaja yang mengagungkan sebuah gelar
bernama “solidaritas”. Tak dapat dipungkiri bahwa solidaritas itu sangat baik
untuk membangun makhluk hidup yang sosialis. Disamping itu semua, solidaritas
juga dapat memberikan pengaruh buruk bagi anak remaja zaman milenial ini.
Seperti halnya pisau, solidaritas memiliki sisi tajam atau bisa diibaratkan
sisi negatif dan sisi tumpulnya atau bisa diibaratkan sisi positifnya.
Di beberapa daerah seperti Yogyakarta terdapat banyak aksi kenakalan yang didasari oleh prinsip solidaritas. Salah satunya yaitu aksi nglithih yang dilakukan oleh anak-anak SMP dan SMA di Yogyakarta. Mereka melakukan aksi nglithih dengan mengeroyok anak dari sekolah lain dengan menggunakan senjata tajam atau dengan tangan kosong hingga mempertaruhkan nyawa korban.
Aksi nglitih yang pernah menggemparkan
Yogyakarta terjadi beberapa tahun yang lalu tepatnya di daerah Sleman sekitar
tahun 2015. Puluhan siswa salah satu SMA di Sleman mengeroyok siswa dari
sekolah lain di sebuah sawah sampai korban ditemukan oleh petani dalam keadaan
kritis.
Aksi klithih ini biasanya didasari oleh pembalasan
dendam. Jika dilihat dari salah satu kasus, diduga pada zaman dahulu atau kakak
tingkatnya pernah menjadi korban klithih sehingga adik tingkatnya harus
membalaskan dendam turun temurun tersebut. Bisa jadi juga pelaku klithih adalah
mantan korban klithih yang pernah nyaris terenggut nyawanya hingga timbul rasa
sakit hati dan keinginan membalas dendam. Jika praktik balas dendam ini tak
dapat dihentikan maka tren nglithih ini akan terus lahir dari satu generasi ke
generasi selanjutnya.
Aksi nglithih ini tidak hanya merugikan korban tetapi
nama baik sekolah dari para tersangka juga. Selain itu, lingkungan sekitar
sekolah tersangka pun menjadi tidak tenang. Pernah saat terjadi kejadian
klithih di salah satu SMA yang menyeret korban jiwa, SMA tempat sekolah para
tersangka dijaga ketat oleh pihak kepolisisan, seluruh siswa tidak
diperkenankan menggunakan lambang SMA di baju seragamnya atau di atribut yang
dikenakannya. Keadaan yang mencekam pun
semakin mencapai puncaknya ketika para gerombolan siswa dari SMA korban
melempari SMA tersangka dengan batu kerikil. Hal ini membuktikan bahwa aksi
klithih ini akan merugikan banyak pihak jika tidak ditangani secara serius.
Gelar sebagai kota pelajar yang
disandang Yogyakarta kini mulai ternoda dengan serangkaian tindakan tak terpuji
yang dilakukan remaja dan pelajar.
Contoh lainnya adalah aksi geng Hello Kitty, mereka menyekap dan
menyiksa bahkan melecehkan temannya. Ironisnya, tindak kekerasan itu dilakukan
karena masalah sepele, yakni hanya gara-gara tato bergambar tokoh kartun Hello
Kitty. Lebih memprihatinkan lagi, diketahui bahwa anggota geng tersebut adalah
sekelompok siswi pelajar SMA.
Hal ini membuktikan bahwa kriminalitas
tak hanya dapat terjadi di luar sekolah. Namun, dapat pula timbul dari
lingkungan sekolah itu sendiri. Sepertinya, tren bullying senior kepada junior
menjadi salah satu penyebab munculnya geng-geng di sekolah-sekolah. Hal ini
terjadi secara turun temurun dan menjadi momok menakutkan bagi para siswa baru.
Telah banyak kasus seperti ini di Yogyakarta tetapi ibarat tiada henti kasus
kriminalitas seperti ini selalu muncul dari tahun ke tahun.
Aksi anak remaja Yogyakarta yang tak
kalah membuat hati miris adalah aksi tawuran antar kelompok suporter sepak
bola. Seperti yang terjadi pada tahun 2016 lalu, seorang remaja meregang nyawa
dengan luka bacokan akibat dikeroyok oleh salah satu kelompok suporter bola,
tepatnya di daerah Sleman. Tak hanya itu, mereka pun melempari bus yang membawa
rombongan suporter dari tim lawan mereka hingga kaca bus pecah dan melukai
penumpang di dalamnya.
Banyak alasan yang mendasari aksi ini,
biasanya hanya karena salah satu tim sepak bola kebanggaannya kalah dalam
pertandingan. Mereka para suporter yang kebanyakan masih remaja tak segan
mengotori tangan mereka demi membela tim kebanggaan mereka. Lagi-lagi aksi ini
didasari oleh rasa solidaritas. Jika mereka tak melakukan aksi kekerasan,
mereka akan dianggap tak mendukung tim kebanggan mereka.
Dari pemaparan yang telah dibahas di atas, terlihat
dengan sangat jelas jika aksi kriminalitas remaja di Yogyakarta sangat
memprihatinkan dan mengerikan. Fenomena ini ibarat bom waktu yang bisa meledak
kapan saja sehingga pencegahan sejak dini harus diterapkan dari lingkungan
keluarga dan sekolah. Pimpinan sekolah harus menjadi garda
terdepan untuk menjaga perdamaian antar sekolah dan inter sekolah. Artinya baik
kepala sekolah, guru hingga ketua OSIS harus berani membuat kesepakatan damai
apabila para siswanya terindikasi ada permusuhan dengan sekolah lain atau
dengan siswa dalam sekolahnya sendiri. Para alumni pun dapat memberikan arahan
kepada para adik tingkatnya agar tidak menjadi remaja yang anarkis dan
melakukan tindak kriminalitas. Selain itu, pihak kepolisian pun seharusnya melakukan
pencegahan untuk meminimalisir terjadinya kriminalitas remaja. Kepolisian
dapat melakukan sosialisasi di sekolah-sekolah tentang bahaya, dampak, dan
hukuman jika melakukan aksi kriminalitas remaja.
Maraknya
tindak kenakalan remaja di Yogyakarta memang menjadi kekhawatiran tersendiri.
Namun, dibalik kriminalitas yang merajalela terdapat banyak prestasi yang dapat
diraih sejumlah anak muda di Yogyakarta.
Sebagai
contoh, salah satu finalis sebuah ajang pencarian bakat pada stasiun televisi
swasta, Bening Ayu. Dalam ajang bertajuk Rising Star, Bening Ayu yang berusia
19 tahun asal Sriharjo, Imogiri, Bantul berhasil melangkah ke delapan besar di
panggung Rising Star. Prestasi Bening Ayu ini dapat menjadi inspirasi para
remaja Yogyakarta untuk mengasah bakatnya agar menjadi sebuah prestasi. Sehingga
aksi tawuran dan klitih dan beberapa kasus dilakukan oleh pelajar dapat
terminimalisir jika remajanya sibuk mengembangkan potensi yang dimiliki.
Selain
itu, bertepatan dengan peringatan Hari Kebangkitan Nasional tahun 2016 terdapat
prestasi membanggakan lainnya, yakni kontingen atlet basket akan mewakili
Yogyakarta dalam Kejuaraan Nasional (Kejurnas) bla basket kelompok umur 16
tahun. Selain itu, mereka juga akan dipersiapkan mengikuti Pekan Olahraga
nasional (PON) Remaja 2017 di Jawa Tengah. Atlet ini merupakan hasil seleksi
dari seluruh daerah di Yogyakarta. Prestasi para atlet ini harusnya menyadarkan
para remaja bahwa mereka harus bersaing untuk hal positif yang akan membangun
bakat yang mereka miliki, bukan bersaing dalam hal negatif yang akan merugikan
mereka sendiri.
Banyak
prestasi yang ditorehkan oleh remaja Yogyakarta. Selain yang telah terpapar di
atas, ada juga Shofi Fatihatun Sholihah, dara berusia 22 tahun kelahiran Bantul
yang sudah meraih banyak prestasi di usia muda untuk bidang penelitian.
Beberapa prestasi yang pernah ia torehkan, di antaranya mendapatkan medali
perak untuk Olimpiade Penelitian Siswa Indonesia bidang sosial humaniora tahun 2011,
juara 3 menulis artikel festival ekonomi kreatif, Kementerian Perdagangan tahun
2011, calon utama perwakilan DIY untuk program ASEAN Students Visit to India
2016 dan masih banyak lagi. Hal ini berawal dari hobi masa kecilnya yaitu menulis
karangan, yang akhirnya ia tekuni hingga tergabung dalam Kajian Ilmiah Remaja
(KIR) dan mengikuti berbagai kompetisi menulis ilmiah yang diselenggarakan oleh
berbagai pihak. Jika remaja disibukkan untuk mengembangkan potensi yang
dimilikinya seperti yang dilakukan oleh Shofi, tentu saja hal ini akan
berdampak positif bagi dirinya sendiri dan lingkungannya. Tak akan ada lagi
pemikiran-pemikiran ke arah kriminalitas. Jika potensi remaja di Yogyakarta
dikembangkan pastinya potensi tersebut akan menorehkan sebuah prestasi yang
membanggakan. Apalagi jika prestasi tersebut dapat bermanfaat untuk orang lain.