Sabtu, 16 Desember 2017

Pendidikan Terpenting dan Paling Utama untuk Tunas Bangsa



Belakangan ini kita terbiasa mendengar dan melihat beberapa kasus penyimpangan dan pelecehan seksual mulai dari pemerkosaan anak dan remaja, pedofilia, kehamilan di luar nikah, dan lain sebagainya. Melihat kasus tentang seksualitas yang semakin marak, dapat disimpulkan bahwa penting sekali untuk mengajarkan dan memberikan pemahaman kepada anak dan remaja tentang pendidikan seks. Dengan pendidikan seks diharapkan tunas masa depan ini tidak akan salah pergaulan dan nantinya tidak melakukan tindakan penyimpangan atau pelecehan seksual.
Pendidikan seks adalah sebuah konsep pendidikan yang berkaitan dengan seksualitas manusia secara jelas dan benar, meliputi hal yang berkaitan dengan jenis kelamin, perkembangan alat reproduksi, seperti menstruasi pada remaja putri, perubahan hormon-hormon, serta pernikahan dan kehamilan. Termasuk bagaimana pola pergaulan antara lawan jenis.  Sesungguhnya tidak ada batasan dalam pendidikan seks, pendidikan seks dapat mulai diberikan ketika anak mulai bertanya tentang seks dan kelengkapan jawaban bisa diberikan sesuai dengan seberapa jauh keingintahuan mereka dan tahapan umur sang anak.
Pendidikan seks dapat dimulai sejak dini, seperti mengenalkan perbedaan antara perempuan dan laki-laki. Karena itu, sebelum pendidikan seks disampaikan kepada anak dan remaja, hendaknya orangtua memahami gaya kehidupan mereka saat ini agar lebih mudah menyampaikan sesuai keadaan sesungguhnya. Tujuannya agar anak dan remaja dapat menjaga dirinya dan bertanggung jawab penuh terhadap alat reproduksinya. Selain itu, pendidikan seks dapat menampung rasa penasaran para remaja mengenai seksualitas dalam wadah yang memadai dan tidak menyesatkan. Salah satunya tentu dengan pendidikan seks yang diberikan secara rutin baik di sekolah maupun di rumah.
Ruang sekolah merupakan suatu lingkungan yang memperkenalkan kaum remaja kepada masalah dan bahayanya seks, dengan begitu ruang sekolah mampu melindungi kaum remaja dari resiko ini dengan informasi yang benar. Di sisi lain, orangtua juga harus mengetahui kapan anaknya mengalami mimpi basah atau menstruasi pertama kali. Orang tua juga sebaiknya menjelaskan segamblang mungkin kepada anak. Dengan penjelasan yang benar dan menyeluruh, anak tidak akan berimajinasi atau memiliki sudut pandang sendiri. Penjelasan yang tidak utuh justru akan memancing rasa penasaran anak. Pemerintah juga sangat berperan dalam usaha penanggulangan seks bebas dikalangan remaja seperti mengadakan penyuluhan di sekolah dan membuat UU khusus bagi anak-anak yang melakukan pelanggaran akan berpikir lagi sebelum berbuat pelanggaran.
Pendidikan seks dapat diterapkan pada anak-anak. Caranya cukup mudah, yaitu dengan mulai memperkenalkan kepada si kecil organ-organ seks miliknya secara singkat. Selain itu, tandaskan juga bahwa alat kelamin tersebut tidak boleh dipertontonkan dengan sembarangan, dan terangkan juga jika ada yang menyentuhnya tanpa diketahui orang tua, maka si anak harus berteriak keras-keras dan melapor kepada orang tuanya.  Sementara untuk remaja, orang tua dapat lebih intensif menanamkan nilai moral yang baik kepadanya. Selain itu, memberi penjelasan mengenai kerugian seks bebas seperti penyakit yang ditularkan dan akibat-akibat secara emosi juga akan memperdalam pemahaman remaja tentang seks. 
Menurut penelitian, pendidikan seks sejak dini akan menghindari kehamilan di luar pernikahan saat anak-anak bertumbuh menjadi remaja dan saat dewasa kelak. Tidak perlu tabu membicarakan seks dalam keluarga. Karena rasa ingin tahu yang besar, jika anak tidak dibekali pendidikan seks, maka anak tersebut akan mencari jawaban dari orang lain, dan akan lebih menakutkan jika informasi seks didapatkan dari teman sebaya atau internet yang informasinya bisa jadi salah. Dengan mengajarkan pendidikan seks pada anak, diharapkan dapat menghindarkan anak dari risiko negatif perilaku seksual maupun perilaku menyimpang. Dengan sendirinya anak diharapkan akan tau mengenai seksualitas dan akibat-akibatnya bila dilakukan tanpa mematuhi aturan hukum, agama, dan adat istiadat, serta dampak penyakit yang bisa ditimbulkan dari penyimpangan tersebut.

Sabtu, 04 November 2017

Keadilan Pendidikan untuk Tunas-Tunas Bangsa Berkebutuhan Khusus



Sistem pendidikan di Indonesia mengalami berbagai kendala atau masalah dalam pelaksanaannya yaitu mulai dari kenakalan remaja sampai peluang memperoleh pendidikan terutama untuk penyandang disabilitas. Dengan permasalahan yang begitu kompleks, sistem pendidikan di Indonesia perlu mendapatkan perhatian yang sangat serius. Dalam artikel ini akan dipaparkan salah satu permasalahan pendidikan yaitu tentang fenomena pendidikan inklusi terutama di daerah Magelang, Jawa Tengah.
Untuk memperkuat argumen tentang pelaksanaan pendidikan inklusi yang menjadi bagian penting dalam menunjang kesempatan dan peluang bagi anak berkebutuhan khusus, berikut ini akan dipaparkan beberapa landasan yuridisnya. Landasan yuridis internasional tentang penerapan pendidikan inklusi adalah Deklarasi Salamanca (UNESCO, 1994) oleh para menteri pendidikan sedunia. Deklarasi ini merupakan penegasan kembali atas Deklarasi PBB tentang HAM tahun 1948 dan berbagai deklarasi lanjutan yang berujung pada Peraturan Standar PBB tahun 1993 tentang kesempatan yang sama bagi individu berkelainan memperoleh pendidikan sebagai bagian integral dari sistem pendidikan yang ada.
Selain itu, sebagai usaha mengatasi permasalahan terkait penyediaan pendidikan bagi peserta didik penyandang disabilitas, Pemerintah Indonesia  mengeluarkan Undang-undang Nomor 20 tahun 2003. Dalam penjelasannya, pasal 15 dan pasal 32 menyebutkan bahwa pendidikan khusus merupakan pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan menengah.
Aturan terbaru yang mengatur tentang pendidikan inklusi adalah dikeluarkannya Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) nomor 70 Tahun 2009 yang menyebutkan bahwa pendidikan inklusi sebagai sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya.
Dengan melihat landasan yuridis tersebut terutama dengan jaminan Undang-Undang yang telah dipaparkan di atas dan menelaah dari bentuk penyelenggaraan pendidikan inklusi yang bertujuan untuk memberikan kesempatan seluas-luasnya dan mewujudkan penyelenggaraan pendidikan yang menghargai keanekaragaman dan tidak diskriminatif, pelaksanaan pendidikan inklusif bagi anak berkebutuhan khusus harusnya akan semakin berkembang dan terlaksana.
Anak-anak penyandang autis yang menempuh pendidikan khususnya di daerah Magelang difasilitasi dengan sekolah khusus autisme yang bernama Bina Anggita. Sekolah khusus autisme Bina Anggita merupakan satu-satunya sekolah yang khusus menampung anak-anak autis. Pendirian Sekolah Khusus Autisme Bina Anggita berawal dari keprihatinannya terhadap anak-anak penyandang autis di Magelang dan sekitarnya yang tidak memiliki tempat khusus untuk pendidikan anak autis. Pemikiran untuk mendirikan sekolah ini didasarkan pada keadaan bahwa anak autis memang tidak cocok masuk SLB karena kecerdasan normal di atas rata-rata. Sedangkan di sekolah reguler mereka juga ditolak karena tidak bisa menerima intruksi dan perilaku yang cenderung seenaknya.
Pihak Dinas Pendidikan setempat bersedia meminjamkan tempat meski sangat sederhana dan memberikan izin operasional. Akan tetapi, sekolah tersebut akan diminta oleh Pemerintah Kota Magelang melalui Dinas Pendidikan dan Kebudayaan untuk dijadikan sekolah Pendidikan Anak Usai Dini (PAUD).  Sekolah ini memang berstatus pinjam dari Dinas Pendidikan Kota Magelang.
Dari pemaparan kasus di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa jumlah lembaga pendidikan yang menyediakan ruang untuk pendidikan inklusi belumlah memadai dibandingkan dengan jumlah anak berkebutuhan khusus. Dinas yang memperketat izin pembukaan sekolah inklusi dengan dalih untuk menjaga kualitas pelayanan kepada anak berkebutuhan khusus juga menjadi faktor penghambat pendirian sekolah inklusi. Memang pelayanan pendidikan inklusi tidak boleh sembarangan dan para pendidiknya harus sudah mempelajari pendidikan luar biasa, namun hal tersebut bisa diatasi dengan memberi pengarahan atau sosialisasi pada guru atau staf pengajar dalam hal yang terkait dengan metode pengajaran.
Sekolah reguler yang menolak siswa ABK dengan alasan dari sisi sarana dan prasarana juga dapat diatasi dengan berbagai strategi. Sebagai contoh, di salah satu sekolah SMA reguler yang menerima siswa ABK, ruang kelas siswa tersebut dipindahkan di lantai satu sehingga siswa ABK tidak kesulitan untuk mengakses ruang belajarnya. Terkadang, teman-temannya juga membantu anak ABK tersebut untuk mengakses lantai dua ketika ada mata pelajaran yang mengharuskan masuk ke laboratorium yang terletak di lantai dua.  Sekolah reguler yang menerima siswa ABK harus memperbaiki semua prasarana sekolah agar bisa diakses oleh siswa ABK. Misalnya adanya bangunan yang berfungsi sebagai pegangan atau alat untuk turun saat berjalan dan kamar mandi khusus untuk mereka. Permasalahan-permasalah teknis lain terkait dengan penyelenggaraan pendidikan inklusi masih perlu banyak mendapat perhatian dari pemangku kebijakan.

Sabtu, 14 Oktober 2017

Bagaikan 2 Sisi Pisau, Kenakalan dan Prestasi Selalu Menjadi 2 Sisi Remaja yang Berjalan Beriringan



Anak-anak di zaman milenial ini mungkin akan sibuk dengan gadget, mereka sibuk bermain game atau sekedar memantau sosial medianya dan menjadi makhluk hidup yang anti-sosial. Namun, bukti di lapangan tak seperti itu. Banyak anak remaja yang mengagungkan sebuah gelar bernama “solidaritas”. Tak dapat dipungkiri bahwa solidaritas itu sangat baik untuk membangun makhluk hidup yang sosialis. Disamping itu semua, solidaritas juga dapat memberikan pengaruh buruk bagi anak remaja zaman milenial ini. Seperti halnya pisau, solidaritas memiliki sisi tajam atau bisa diibaratkan sisi negatif dan sisi tumpulnya atau bisa diibaratkan sisi positifnya.



Di beberapa daerah seperti Yogyakarta terdapat banyak aksi kenakalan yang didasari oleh prinsip solidaritas. Salah satunya yaitu aksi nglithih yang dilakukan oleh anak-anak SMP dan SMA di Yogyakarta. Mereka melakukan aksi nglithih dengan mengeroyok anak dari sekolah lain dengan menggunakan senjata tajam atau dengan tangan kosong hingga mempertaruhkan nyawa korban.
Aksi nglitih yang pernah menggemparkan Yogyakarta terjadi beberapa tahun yang lalu tepatnya di daerah Sleman sekitar tahun 2015. Puluhan siswa salah satu SMA di Sleman mengeroyok siswa dari sekolah lain di sebuah sawah sampai korban ditemukan oleh petani dalam keadaan kritis.
Aksi klithih ini biasanya didasari oleh pembalasan dendam. Jika dilihat dari salah satu kasus, diduga pada zaman dahulu atau kakak tingkatnya pernah menjadi korban klithih sehingga adik tingkatnya harus membalaskan dendam turun temurun tersebut. Bisa jadi juga pelaku klithih adalah mantan korban klithih yang pernah nyaris terenggut nyawanya hingga timbul rasa sakit hati dan keinginan membalas dendam. Jika praktik balas dendam ini tak dapat dihentikan maka tren nglithih ini akan terus lahir dari satu generasi ke generasi selanjutnya.
Aksi nglithih ini tidak hanya merugikan korban tetapi nama baik sekolah dari para tersangka juga. Selain itu, lingkungan sekitar sekolah tersangka pun menjadi tidak tenang. Pernah saat terjadi kejadian klithih di salah satu SMA yang menyeret korban jiwa, SMA tempat sekolah para tersangka dijaga ketat oleh pihak kepolisisan, seluruh siswa tidak diperkenankan menggunakan lambang SMA di baju seragamnya atau di atribut yang dikenakannya. Keadaan yang mencekam  pun semakin mencapai puncaknya ketika para gerombolan siswa dari SMA korban melempari SMA tersangka dengan batu kerikil. Hal ini membuktikan bahwa aksi klithih ini akan merugikan banyak pihak jika tidak ditangani secara serius.


Gelar sebagai kota pelajar yang disandang Yogyakarta kini mulai ternoda dengan serangkaian tindakan tak terpuji yang dilakukan remaja dan pelajar.  Contoh lainnya adalah aksi geng Hello Kitty, mereka menyekap dan menyiksa bahkan melecehkan temannya. Ironisnya, tindak kekerasan itu dilakukan karena masalah sepele, yakni hanya gara-gara tato bergambar tokoh kartun Hello Kitty. Lebih memprihatinkan lagi, diketahui bahwa anggota geng tersebut adalah sekelompok siswi pelajar SMA.
Hal ini membuktikan bahwa kriminalitas tak hanya dapat terjadi di luar sekolah. Namun, dapat pula timbul dari lingkungan sekolah itu sendiri. Sepertinya, tren bullying senior kepada junior menjadi salah satu penyebab munculnya geng-geng di sekolah-sekolah. Hal ini terjadi secara turun temurun dan menjadi momok menakutkan bagi para siswa baru. Telah banyak kasus seperti ini di Yogyakarta tetapi ibarat tiada henti kasus kriminalitas seperti ini selalu muncul dari tahun ke tahun.


Aksi anak remaja Yogyakarta yang tak kalah membuat hati miris adalah aksi tawuran antar kelompok suporter sepak bola. Seperti yang terjadi pada tahun 2016 lalu, seorang remaja meregang nyawa dengan luka bacokan akibat dikeroyok oleh salah satu kelompok suporter bola, tepatnya di daerah Sleman. Tak hanya itu, mereka pun melempari bus yang membawa rombongan suporter dari tim lawan mereka hingga kaca bus pecah dan melukai penumpang di dalamnya.
Banyak alasan yang mendasari aksi ini, biasanya hanya karena salah satu tim sepak bola kebanggaannya kalah dalam pertandingan. Mereka para suporter yang kebanyakan masih remaja tak segan mengotori tangan mereka demi membela tim kebanggaan mereka. Lagi-lagi aksi ini didasari oleh rasa solidaritas. Jika mereka tak melakukan aksi kekerasan, mereka akan dianggap tak mendukung tim kebanggan mereka.
Dari pemaparan yang telah dibahas di atas, terlihat dengan sangat jelas jika aksi kriminalitas remaja di Yogyakarta sangat memprihatinkan dan mengerikan. Fenomena ini ibarat bom waktu yang bisa meledak kapan saja sehingga pencegahan sejak dini harus diterapkan dari lingkungan keluarga dan sekolah. Pimpinan sekolah harus menjadi garda terdepan untuk menjaga perdamaian antar sekolah dan inter sekolah. Artinya baik kepala sekolah, guru hingga ketua OSIS harus berani membuat kesepakatan damai apabila para siswanya terindikasi ada permusuhan dengan sekolah lain atau dengan siswa dalam sekolahnya sendiri. Para alumni pun dapat memberikan arahan kepada para adik tingkatnya agar tidak menjadi remaja yang anarkis dan melakukan tindak kriminalitas. Selain itu, pihak kepolisian pun seharusnya melakukan pencegahan untuk meminimalisir terjadinya kriminalitas remaja. Kepolisian dapat melakukan sosialisasi di sekolah-sekolah tentang bahaya, dampak, dan hukuman jika melakukan aksi kriminalitas remaja.


Maraknya tindak kenakalan remaja di Yogyakarta memang menjadi kekhawatiran tersendiri. Namun, dibalik kriminalitas yang merajalela terdapat banyak prestasi yang dapat diraih sejumlah anak muda di Yogyakarta.
Sebagai contoh, salah satu finalis sebuah ajang pencarian bakat pada stasiun televisi swasta, Bening Ayu. Dalam ajang bertajuk Rising Star, Bening Ayu yang berusia 19 tahun asal Sriharjo, Imogiri, Bantul berhasil melangkah ke delapan besar di panggung Rising Star. Prestasi Bening Ayu ini dapat menjadi inspirasi para remaja Yogyakarta untuk mengasah bakatnya agar menjadi sebuah prestasi. Sehingga aksi tawuran dan klitih dan beberapa kasus dilakukan oleh pelajar dapat terminimalisir jika remajanya sibuk mengembangkan potensi yang dimiliki.


Selain itu, bertepatan dengan peringatan Hari Kebangkitan Nasional tahun 2016 terdapat prestasi membanggakan lainnya, yakni  kontingen atlet basket akan mewakili Yogyakarta dalam Kejuaraan Nasional (Kejurnas) bla basket kelompok umur 16 tahun. Selain itu, mereka juga akan dipersiapkan mengikuti Pekan Olahraga nasional (PON) Remaja 2017 di Jawa Tengah. Atlet ini merupakan hasil seleksi dari seluruh daerah di Yogyakarta. Prestasi para atlet ini harusnya menyadarkan para remaja bahwa mereka harus bersaing untuk hal positif yang akan membangun bakat yang mereka miliki, bukan bersaing dalam hal negatif yang akan merugikan mereka sendiri.


Banyak prestasi yang ditorehkan oleh remaja Yogyakarta. Selain yang telah terpapar di atas, ada juga Shofi Fatihatun Sholihah, dara berusia 22 tahun kelahiran Bantul yang sudah meraih banyak prestasi di usia muda untuk bidang penelitian. Beberapa prestasi yang pernah ia torehkan, di antaranya mendapatkan medali perak untuk Olimpiade Penelitian Siswa Indonesia bidang sosial humaniora tahun 2011, juara 3 menulis artikel festival ekonomi kreatif, Kementerian Perdagangan tahun 2011, calon utama perwakilan DIY untuk program ASEAN Students Visit to India 2016 dan masih banyak lagi. Hal ini berawal dari hobi masa kecilnya yaitu menulis karangan, yang akhirnya ia tekuni hingga tergabung dalam Kajian Ilmiah Remaja (KIR) dan mengikuti berbagai kompetisi menulis ilmiah yang diselenggarakan oleh berbagai pihak. Jika remaja disibukkan untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya seperti yang dilakukan oleh Shofi, tentu saja hal ini akan berdampak positif bagi dirinya sendiri dan lingkungannya. Tak akan ada lagi pemikiran-pemikiran ke arah kriminalitas. Jika potensi remaja di Yogyakarta dikembangkan pastinya potensi tersebut akan menorehkan sebuah prestasi yang membanggakan. Apalagi jika prestasi tersebut dapat bermanfaat untuk orang lain.